December 6, 2010

Kebahagiaan Yang Tersembunyi

Suatu saat saya mengikuti sebuah retreat dimana kita melatih hidup berkesadaran. Yang dilatih sangatlah abstrak: melatih kesadaran. Dimulailah kita melatih sadar bernapas. Bayangkan saja, setelah sekian lama hidup, di retreat tersebut saya dan seluruh peserta melatih kesadaran bernapas. Saya pikir agak lucu juga repot-repot ikut retreat, kok dilatih bernapas dengan sadar. Akhirnya dengan pasrah, saya kemudian melatih napas dengan sadar pada retreat tersebut. Napas masuk, napas keluar, semua dilakukan dengan sadar. Sadar disini bukan berarti napas yang dibuat-buat, tapi maksudnya adalah diamati dengan sadar.

Ditengah-tengah latihan tersebut, tiba-tiba dalam hati saya timbul sebuah rasa yang saya tidak pernah rasakan; betapa nikmatnya saya bisa bernapas. Saya sendiri sampai merasa geli sendiri bahwa pada saat itu tiba-tiba timbul rasa syukur atas nikmatnya bernapas. Saya jadi ingat ayah saya yang seumur hidupnya sering sekali menderita asma, dimana pada saat asma menyerang, napas menjadi sebuah usaha yang menyakitkan oleh karena rasa sulit bernapas akibat sesak. Ayah saya menggantungkan dirinya dengan obat-obat asma, sementara saya bisa melakukan napas dengan ringan tanpa usaha dan bantuan apapun. Indah dan nikmat sekali bisa bernapas.

Saya kemudian menjalani retreat tersebut dengan tekun dan tanpa pengharapan apa-apa. Ternyata, sambil latihan bernapas secara sadar, selain timbul rasa beryukur bahwa saya bisa bernapas dengan lancar, timbulah rasa syukur lainnya. Begitulah yang terjadi, hingga saya mengerti mengapa kesadaran bisa dilatih dengan cara melatih napas dengan berkesadaran. Sambil berlatih mengamati napas dengan sadar, ada timbul rasa dalam diri saya, betapa nikmatnya hidup ini, bahwa semua yang saya perlukan sebetulnya sudah disediakan oleh hidup. Bahkan saya sempat merasa konyol ditengah-tengah latihan tersebut, bahwa saya merasa bisa bersyukur sekali saat itu hanya untuk bisa duduk sambil menutup mata dalam suasana tenang. Kok bisa indah dan damai ya. Rasa bahagia yang biasa rasanya susah saya dapatkan, rasa bahagia yang penuh persyaratan yang saya pikir hanya bisa didapat dengan usaha keras, ternyata sekonyong-konyongnya datang kesaya saat saya duduk diam, menutup mata, dan mengamati napas saya. Kebahagiaan tanpa syarat.

Ternyata semua rasa syukur itu tumbuh dari melatih kesadaran. Jujur saya sampai bodoh dan geli sendiri karena perasaan-perasaan ini terasa ‘aneh’, karena biasa kita bersyukur kalau dapat uang, dapat perkerjaan, dapat rejeki, tapi bukan dari bahwa kita masih bisa bernapas dengan lancar. Begitu bersyukurnya sampai saya merasa hidup itu indah hanya karena saya bisa menikmati diri saya yang sedang bernapas ini.

Ternyata itulah salah satu hasil yang saya dapat dari berlatih kesadaran. Saya rasa, jika kita sering melatih kesadaran, kita akan menemukan  damai  dibalik semua pikiran dan perasaan kita. Dengan melatih hidup berkesadaran, saya jadi bisa menikmati hidup sampai kepada hal-hal yang sangat sederhana seperti mensyukuri napas yang bisa saya lakukan dengan lancar. Saya bisa menyukuri nikmatnya duduk menutup mata menikmati kesunyian. Saya bisa menikmati indahnya matahari,hujan, dan udara disekitar saya. Saya bahkan bisa menikmati kesulitan dan tantangan kehidupan yang saya lalui. Saya menikmati perjuangan hidup yang dijalani. Bahkan akhirnya berbagai hal-hal yang rasanya menganggu, menyakitkan, berat, menantang dan sulitpun saya tetap  bisa  menemukan rasa syukur di dalamnya. Saya bisa menikmati keberadaan diri saya, tanpa syarat apa-apa. Luar biasa.

Hingga suatu saat saya berkesimpulan dan menulis pada status Facebook dan Twitter saya:
“Beneath our fear and confusion, there is a subtle existance, standing tall and firm, solid, free and grounded. It is above, below, beneath, in between and on the background. That is the God within us in which we find eternal peace.
I will meet you there.”

Written by : Maylaffayza ( 03 Desember 2010)

No comments:

Post a Comment